ARSANDI ARSAD
(Ketua Umum HIPMI-MALUT di Gorontalo)
Indonesia
merupakan sebuah Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM)
dan Hukum yang berlaku di Indonesia, dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal
1 ayat 3 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang. Nyatanya ini berbanding terbalik dengan kehidupan negara
kita saat ini, dimana HAM dilanggar seenaknya oleh para penguasa tanpa
memikirkan nasib kaum yang lemah.
Kita
ketahui bersama bahwa negara ini penuh dengan penguasa yang selalu haus dengan
kekuasaan, penguasa yang selalu mengatasnamakan rakyat, tetapi rakyat yang
selalu dijadikan korban, penguasa yang tidak kenyang akan tiga fitnah dunia, “Harta,
Tahta, dan Wanita”. Tidak jarang rakyat selalu merintih, tapi apa daya rakyat
tidak dapat berbuat apa-apa, para penguasa selalu bersolek di ketiak
Undang-Undang yang mereka buat sendiri bukan untuk melindingi rakyat tetapi
semata-mata untuk melinduungi diri mereka sendiri. Tikus berdasi merajalela,
menggerogoti harta negara, tak pernah kenyang perut mereka, meski permata habis
ditelannya, kini merdeka telah sirna dari bumi Indonesia, kini merdeka tinggal
kata, tanpa ARTI tanpa MAKNA.
Indonesia
kaya akan sumber daya alam, tetapi tidak mampu mengelola hanya mampu diolah
oleh bangsa asing yang terus menggerogoti hasil alam negara Indonesia. Lebih
kerucut lagi ke Kabupaten Pulau Taliabu yang merupakan salah satu kabupaten di
Provinsi Maluku Utara yang meruapakan kabupaten hasil pemekaran wilayah dari
Kabupaten Kepulauan Sula. Dibentuk pada tahun 2013 dimana sebelahh Utara
dibatasi oleh laut Maluku, sebelah timur Selat Capalulu, sebelah selatan Laut
Banda, dan sebelah barat Keepulauan Banggai Laut. Nama Taliabu diambil dari
atas kesepakatan dari Sultan Ternate dan Sultan Buton yang pada saat itu
memperebutkan pulau tersebut.
Kabupaten
Pulau Taliabu merupakan salah satu wilayah negara Indonesia yang kaya akan
sumber daya alam, dan suburnya lahan pertanian. Masukya PT. ADIDAYA TANGGUH
yang merupakan salah satu anak perusahaan dari konlomerat Salim Group yang
mengelola pertambangan, masuk ke Kabupaten Pulau Taliabu pada tahun 2007 dan
belum mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), perusahaan ini hanya
mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari kementrian kehutanan
nomor 606 Tahun 2010, dengan konsesi seluas 1.698.00 Hektar guna eksploitasi
biji besi.
Sangat
disayangkan bahwa dengan luasan konsesi IPPKH tersebut telah melampaui luas
daratan Pulau Taliabu yang berkisar 7.381.03 km². Hal ini sekali lagi, proses
perijinan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan, ini merupakan proses
pengabaian terhadap konflik tenurial yang melilit masyarakat Pulau Taliabu,
karena diatas kawasan yang dipinjam pakaikan untuk usaha pertambangan di Pulau
Taliabu sudah mengambil sebagian besar lahan milik masyarakat sekitar yang
berada di area ingkar tambang.
Hal
tersebut membuat warga masyarakat Pulau Taliabu kehilangan mata pencahariannya
sebagai seorang petani yang lahannya digarap secra paksa oleh pihak
pertambangan. Penduduk Pulau Taliabu mata pencaharian 90% petani dan 10%
nelayan. Akhirnya masyarakat yang berada diarea lingkar tambang mengalami
kerugian yang signifikan dimana lahan tersebut sudah ditanami dengan berbagai
tumbuhan yang merupakan kebutuhan pokok dari masyarakat setempat di garap
secara paksa oleh pihak PT. ADIDAYA TANGGUH tanpa mengganti rugi sepeserpun
kepada masyarakat area lingkar tambang.
Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Poko-Pokok Agraria, dimana dalam pasal 1 ayat (1) seluruh wilayah indonesia
adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia (2) Seluruh bumi, air, dan luar angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa indonesia dan
merupakan kekayaan nasional.
Kabupaten
Pulau Taliabu juga masih masuk dalam peta Indonesia tetapi kenapa hal ini tidak
diindahkan dengan serius oleh pihak yang berwenang di Negara ini. Dengarlah
suara kami wahai penguasa, sudah tidak adakah pemimpin yang bijaksana ??? yang
memimpin tanpa menguras harta negara, dengarlah suara kami wahai penguasa
sebagai rakyat yang lemah dan tertindas.
Masyarakatpun
mengamuk dan menyatakan kekecewaannya kepada pihak pertambangan dalam hal ini
PT. ADIDAYA TANGGUH, tetapi malah dari pihak pertambangan menyarankan kepada
warga setempat untuk bertanya langsung kepada pemerintah setempat, dapat kita
garis bawahi bahwa sudah ada kerjasama antara pihak pertambangan dengan
pemerintah setempat, bahkan aparat kepolisisan juga ikut terlibat dalam hal ini
untuk melindungi PT. ADIDAYA TANGGUH yang di paksa keluar oleh masyarakat Pulau
Taliabu.
Peristiwa
yang terjadi pada tanggal 25 Maret 2016, bak penampuang air setinggi 3 meter
yang dibuat oleh PT. ADIDAYA TANGGH pecah dan menimpa dua bocah yang
masing-masing bermur 3 tahun dan 9 tahun akhirnya menghembskan nafas
terakhirnya dalam tragedi itu. Dari pihak keluarga mengajukan complain kepada
pihak pertambangan PT. ADIDAYA TANGGUH, namun mereka berdalih kejadian tersebut
adalah kelalaian dari pihak kontraktor yang dipakai oleh pihak perusahaan. PT.
ADIDAYA TANGGUH memberikan santunan kepada keluarga sebesar 5 juta Rupiah atas
hilangnnya nyawa 2 bocah tersebut. Garis merah yang dapat kita ambil bahwa 1
nyawa manusia yang dinilai oleh PT. ADIDAYA TANGGUH sebesar Rp, 2.500.00,
sangat disayangkan saudara sekalian.
Keresahan
demi keresahan selalu di keluarkan oleh masyarakat Pulau Taliabu dengan
menggelar aksi besar-besaran dengan tujuan mengusir PT. ADIDAYA TANGGUH dari
Pulau Taliabu yang sudah sangat merugikan masyarakat setempat. Sangat miris
bahwa aksi tersebut akhirnya dicekal oleh pihak kepolisisan dengan mengeluarkan
tembakan secara membabi buta, warga tersebut akhirnya panik dan berhamburan
meyelamatkan diri masing-masing ada yang masuk ke hutan, ke rawa-rawa dan lain
sebagainya, akhirnya masyarakat tidak kembali ke tempat tinggal mereka karena
dijaga ketat oleh pihak kepolisian warga pun mengonsumsi makanan apa adanya
yang terdapat di hutan.
Para
aksi tersebut akhirnya ditangkap oleh pihak kepolisian dan dibawa ke Kapolres
Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara ditahan, karena Kabupaten Pulau Taliabu
belum memiliki kapolres sendiri. Nilai-nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia
direnggut secara paksa dan brutal oleh pihak pertambangan tanpa memikirkan
nasib masyarakat sekitar.
Hail
ini membuat kami mahasiswa yang studi di Provinsi Goontalo membentuk sebuah
aliansi dengan nama “MAPERTA (Mahasiswa Peduli Rakyat Taliabu) di Gorontalo, tepatnya
di Sekretariat HIPMI-MALUT di Gorontalo aliansi ini terdiri dari barbagai
elemen organisasi baik itu organisasi daerah, intra kampus maupun ekstra, nama
ini kami angkat bukan semata-mata tendensi politik atau lain sebagainya tetapi
atas rasa kepedulian kami sebagai manusia yang memiliki hari nurani
Kami
Mahasiswa Peduli Rakyat Taliabu (MAPERTA di Gorontalo) menolak secara tegas
pelanggaran HAM yang terjadi di Kabupaten Pulau Taliabu, hal ini sangat mencoreng
nama negara kita sebagai negara yang berasaskan kepada Pancasila dan menjnjung
tinggi Hukum yang berlaku dinegara kita ini.
Kamis,
13 April 2017 MAPERTA turun ke jalan dengan menggelar aksi damai di depan
gerbang utama Universitas Negeri Gorontalo dengan tuntutan Bubarkan/usir PT.
ADIDAYA TANGGUH dari Kabupaten Pulau Taliabu Provinsi Maluku Utara, Bebaskan
beberapa tahanan yang ditahan oleh kapolres Kepulauan Sula (Sanana), Tanggkap
pelanggar HAM, serta copot jabatan Kapolda Maluku Utara. Aksi ini kami buat
semata-mata atas bentuk kekecewaan kami terhadap PT. ADIDAYA TANGGUH dan
Pemerintah Daerah setempat.
Senin,
17 April 2017 Kami MAPERTA di Gorontalo mengelar aksi yang ke-2 masih dengan
tuntutan yang sama dan lokasi yang sama di depan gerbang utama Universitas
Negeri Gorontalo yaitu menolak pelanggar HAM di Kabupaten Pulau Taliabu. Suara
megafon kami yang lantang di bumi serambi madinah tidak akan padam sampai
tuntasnya kasus yang ada di Pulau Taliabu Provinsi Maluku Utara.
Apabila
usul selalu di tolak tanpa di timbang suara di bungkam, kritik dilarang tanpa
alasan, dituduh subversif dan mengganggu kemanan, mungkin kita terbelenggu
dalam propaganda bagai mainan tanpa harapan maka cuma ada satu kata untuk itu..
LAWAN.... Negeri ini sebenarnya sudah cukup untuk membangun sebuah tenaga
listrik yang bertenaga air mata, sebab kesedihan rakyat cudah sangat cukup
untuk itu.
Untuk
itu, kami aliansi MAPERTA (Mahasiswa Peduli Rakyat Taliabu) di Gorontalo mengajak
kepada seluruh masyarakat Indonesia mari sama-sama kita kawal kasus ini sampai
tuntas, lawan para penguasa yang sudah buta akan nilai-nilai kemanusiaan.