Selasa, 18 April 2017

MAPERTA Bergejolak Di Bumi Serambi Madinah



ARSANDI ARSAD
(Ketua Umum HIPMI-MALUT di Gorontalo)





              Indonesia merupakan sebuah Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum yang berlaku di Indonesia, dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 1 ayat 3 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang. Nyatanya ini berbanding terbalik dengan kehidupan negara kita saat ini, dimana HAM dilanggar seenaknya oleh para penguasa tanpa memikirkan nasib kaum yang lemah.
              Kita ketahui bersama bahwa negara ini penuh dengan penguasa yang selalu haus dengan kekuasaan, penguasa yang selalu mengatasnamakan rakyat, tetapi rakyat yang selalu dijadikan korban, penguasa yang tidak kenyang akan tiga fitnah dunia, “Harta, Tahta, dan Wanita”. Tidak jarang rakyat selalu merintih, tapi apa daya rakyat tidak dapat berbuat apa-apa, para penguasa selalu bersolek di ketiak Undang-Undang yang mereka buat sendiri bukan untuk melindingi rakyat tetapi semata-mata untuk melinduungi diri mereka sendiri. Tikus berdasi merajalela, menggerogoti harta negara, tak pernah kenyang perut mereka, meski permata habis ditelannya, kini merdeka telah sirna dari bumi Indonesia, kini merdeka tinggal kata, tanpa ARTI tanpa MAKNA.
              Indonesia kaya akan sumber daya alam, tetapi tidak mampu mengelola hanya mampu diolah oleh bangsa asing yang terus menggerogoti hasil alam negara Indonesia. Lebih kerucut lagi ke Kabupaten Pulau Taliabu yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Maluku Utara yang meruapakan kabupaten hasil pemekaran wilayah dari Kabupaten Kepulauan Sula. Dibentuk pada tahun 2013 dimana sebelahh Utara dibatasi oleh laut Maluku, sebelah timur Selat Capalulu, sebelah selatan Laut Banda, dan sebelah barat Keepulauan Banggai Laut. Nama Taliabu diambil dari atas kesepakatan dari Sultan Ternate dan Sultan Buton yang pada saat itu memperebutkan pulau tersebut.
              Kabupaten Pulau Taliabu merupakan salah satu wilayah negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, dan suburnya lahan pertanian. Masukya PT. ADIDAYA TANGGUH yang merupakan salah satu anak perusahaan dari konlomerat Salim Group yang mengelola pertambangan, masuk ke Kabupaten Pulau Taliabu pada tahun 2007 dan belum mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), perusahaan ini hanya mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari kementrian kehutanan nomor 606 Tahun 2010, dengan konsesi seluas 1.698.00 Hektar guna eksploitasi biji besi.
              Sangat disayangkan bahwa dengan luasan konsesi IPPKH tersebut telah melampaui luas daratan Pulau Taliabu yang berkisar 7.381.03 km². Hal ini sekali lagi, proses perijinan tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan, ini merupakan proses pengabaian terhadap konflik tenurial yang melilit masyarakat Pulau Taliabu, karena diatas kawasan yang dipinjam pakaikan untuk usaha pertambangan di Pulau Taliabu sudah mengambil sebagian besar lahan milik masyarakat sekitar yang berada di area ingkar tambang.
              Hal tersebut membuat warga masyarakat Pulau Taliabu kehilangan mata pencahariannya sebagai seorang petani yang lahannya digarap secra paksa oleh pihak pertambangan. Penduduk Pulau Taliabu mata pencaharian 90% petani dan 10% nelayan. Akhirnya masyarakat yang berada diarea lingkar tambang mengalami kerugian yang signifikan dimana lahan tersebut sudah ditanami dengan berbagai tumbuhan yang merupakan kebutuhan pokok dari masyarakat setempat di garap secara paksa oleh pihak PT. ADIDAYA TANGGUH tanpa mengganti rugi sepeserpun kepada masyarakat area lingkar tambang.
              Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Poko-Pokok Agraria, dimana dalam pasal 1 ayat (1) seluruh wilayah indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia (2) Seluruh bumi, air, dan luar angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
              Kabupaten Pulau Taliabu juga masih masuk dalam peta Indonesia tetapi kenapa hal ini tidak diindahkan dengan serius oleh pihak yang berwenang di Negara ini. Dengarlah suara kami wahai penguasa, sudah tidak adakah pemimpin yang bijaksana ??? yang memimpin tanpa menguras harta negara, dengarlah suara kami wahai penguasa sebagai rakyat yang lemah dan tertindas.
              Masyarakatpun mengamuk dan menyatakan kekecewaannya kepada pihak pertambangan dalam hal ini PT. ADIDAYA TANGGUH, tetapi malah dari pihak pertambangan menyarankan kepada warga setempat untuk bertanya langsung kepada pemerintah setempat, dapat kita garis bawahi bahwa sudah ada kerjasama antara pihak pertambangan dengan pemerintah setempat, bahkan aparat kepolisisan juga ikut terlibat dalam hal ini untuk melindungi PT. ADIDAYA TANGGUH yang di paksa keluar oleh masyarakat Pulau Taliabu.
              Peristiwa yang terjadi pada tanggal 25 Maret 2016, bak penampuang air setinggi 3 meter yang dibuat oleh PT. ADIDAYA TANGGH pecah dan menimpa dua bocah yang masing-masing bermur 3 tahun dan 9 tahun akhirnya menghembskan nafas terakhirnya dalam tragedi itu. Dari pihak keluarga mengajukan complain kepada pihak pertambangan PT. ADIDAYA TANGGUH, namun mereka berdalih kejadian tersebut adalah kelalaian dari pihak kontraktor yang dipakai oleh pihak perusahaan. PT. ADIDAYA TANGGUH memberikan santunan kepada keluarga sebesar 5 juta Rupiah atas hilangnnya nyawa 2 bocah tersebut. Garis merah yang dapat kita ambil bahwa 1 nyawa manusia yang dinilai oleh PT. ADIDAYA TANGGUH sebesar Rp, 2.500.00, sangat disayangkan saudara sekalian.
              Keresahan demi keresahan selalu di keluarkan oleh masyarakat Pulau Taliabu dengan menggelar aksi besar-besaran dengan tujuan mengusir PT. ADIDAYA TANGGUH dari Pulau Taliabu yang sudah sangat merugikan masyarakat setempat. Sangat miris bahwa aksi tersebut akhirnya dicekal oleh pihak kepolisisan dengan mengeluarkan tembakan secara membabi buta, warga tersebut akhirnya panik dan berhamburan meyelamatkan diri masing-masing ada yang masuk ke hutan, ke rawa-rawa dan lain sebagainya, akhirnya masyarakat tidak kembali ke tempat tinggal mereka karena dijaga ketat oleh pihak kepolisian warga pun mengonsumsi makanan apa adanya yang terdapat di hutan.
              Para aksi tersebut akhirnya ditangkap oleh pihak kepolisian dan dibawa ke Kapolres Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara ditahan, karena Kabupaten Pulau Taliabu belum memiliki kapolres sendiri. Nilai-nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia direnggut secara paksa dan brutal oleh pihak pertambangan tanpa memikirkan nasib masyarakat sekitar.
              Hail ini membuat kami mahasiswa yang studi di Provinsi Goontalo membentuk sebuah aliansi dengan nama “MAPERTA (Mahasiswa Peduli Rakyat Taliabu) di Gorontalo, tepatnya di Sekretariat HIPMI-MALUT di Gorontalo aliansi ini terdiri dari barbagai elemen organisasi baik itu organisasi daerah, intra kampus maupun ekstra, nama ini kami angkat bukan semata-mata tendensi politik atau lain sebagainya tetapi atas rasa kepedulian kami sebagai manusia yang memiliki hari nurani
              Kami Mahasiswa Peduli Rakyat Taliabu (MAPERTA di Gorontalo) menolak secara tegas pelanggaran HAM yang terjadi di Kabupaten Pulau Taliabu, hal ini sangat mencoreng nama negara kita sebagai negara yang berasaskan kepada Pancasila dan menjnjung tinggi Hukum yang berlaku dinegara kita ini.


              Kamis, 13 April 2017 MAPERTA turun ke jalan dengan menggelar aksi damai di depan gerbang utama Universitas Negeri Gorontalo dengan tuntutan Bubarkan/usir PT. ADIDAYA TANGGUH dari Kabupaten Pulau Taliabu Provinsi Maluku Utara, Bebaskan beberapa tahanan yang ditahan oleh kapolres Kepulauan Sula (Sanana), Tanggkap pelanggar HAM, serta copot jabatan Kapolda Maluku Utara. Aksi ini kami buat semata-mata atas bentuk kekecewaan kami terhadap PT. ADIDAYA TANGGUH dan Pemerintah Daerah setempat.


              Senin, 17 April 2017 Kami MAPERTA di Gorontalo mengelar aksi yang ke-2 masih dengan tuntutan yang sama dan lokasi yang sama di depan gerbang utama Universitas Negeri Gorontalo yaitu menolak pelanggar HAM di Kabupaten Pulau Taliabu. Suara megafon kami yang lantang di bumi serambi madinah tidak akan padam sampai tuntasnya kasus yang ada di Pulau Taliabu Provinsi Maluku Utara.
              Apabila usul selalu di tolak tanpa di timbang suara di bungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu kemanan, mungkin kita terbelenggu dalam propaganda bagai mainan tanpa harapan maka cuma ada satu kata untuk itu.. LAWAN.... Negeri ini sebenarnya sudah cukup untuk membangun sebuah tenaga listrik yang bertenaga air mata, sebab kesedihan rakyat cudah sangat cukup untuk itu.




              Untuk itu, kami aliansi MAPERTA (Mahasiswa Peduli Rakyat Taliabu) di Gorontalo mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia mari sama-sama kita kawal kasus ini sampai tuntas, lawan para penguasa yang sudah buta akan nilai-nilai kemanusiaan.